Fungsi Pemberitaan
Berita yang dimuat di surat kabar pada dasarnya hadir dengan satu fungsi. Fungsi ini selaras dengan tujuan dari kehadiran pers di tengah masyarakat. Secara universal, pers mempunyai fungsi utama yaitu sebagai interpreter, mendidik, kontrol sosial, dan penghubung pendapat umum.
Pers pada hakikatnya dapat memberikan sumbangan yang besar bagi perubahan sosial. Menurut Emery, Ault, Age, pers mempunyai fungsi untuk memberikan informasi yang objektif kepada pembaca tentang apa yang dapat membahagiakan masyarakat, negara dan dunia. Selain itu juga memberikan komentar lewat editorialnya agar memperoleh petunjuk perkembangan yang saat ini menjadi perhatian dan juga memberikan informasi tentang barang-barang yang dibutuhkan lewat advertensi atau iklan (Edwin Emery, Philip H Ault K Warren, 1960:174).
Menurut Harold Lasswell ada tiga fungsi utama pers dalam masyarakat modern yaitu surveillance (pengamatan), interpretation (interpretasi), socialization (sosialisai). Fungsi pers dalam surveillance adalah melaporkan peristiwa yang sedang terjadi. Pers berfungsi menentukan agenda tentang masalah dan kegiatan umum yang berkenaan dengan orang, oraganisasi dan peristiwa tertentu yang akan menjadi perhatian khalayak secara keseluruhan (Wisnu Basuki, 1995:58-63).
Pers berfungsi sebagai interpreter karena pers menafsirkan makna peristiwa, memasukannya kedalam konteks dan mempertimbangkan konsekuensinya. Misalnya, untuk peristiwa politik pers akan memilih jenis interpretasinya yang mempengaruhi konsekuensi politik melalui beritanya. Sosialisasi berarti pers berfungsi memasyarakatkan individu dalam latar belakang budayanya. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa penyebaran informasi merupakan fungsi utama pers.
Selain itu pers juga memiliki fungsi lain dalam masyarakat yaitu fungsi mendidik, fungsi penghubung, fungsi penyalur dan pembentuk pendapat umum dan fungsi kontrol sosial.
Fungsi mendidik dimaksudkan bahwa pers mempunyai peranan untuk ikut mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pemberitaannya. Fungsi penghubung dimaksudkan pers menyelenggarakan suatu hubungan sosial antar masyarakat. Fungsi sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum dimaksudkan bahwa pers menyajikan berita atau informasi yang berisikan pendapat atau pikiran orang yang diharapkan akan mempengaruhi pendapat dan pikiran orang. Fungsi kontrol sosial dimaksudkan pers menjadi pengawas lingkungan dan sebagian besar ditunjukan kepada pemerintah dan aparatnya (F. Rachmadi, 1990:19-21).
Berdasarkan fungsi-fungsi tadi maka setiap berita yang hadir di tengah-tengah masyarakat harus memperhatikan kaidah-kaidah jurnalisme profesional, serta memenuhi kriteria unsur berita dan layak berita.
Kemudian kalau kita melihat esensi dari menulis berita adalah melaporkan seluk beluk suatu peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi di masyarakat. Melaporkan disini berarti menuliskan apa yang dilihat, didengar atau difahami oleh orang atau sekelompok orang. berita ditulis untuk mengkonstruksikan apa yang terjadi di masyarakat.
Untuk bisa menjalankan fungsinya tersebut sehingga berita bisa bermanfaat bagi kepentingan khalayak adalah dengan memperhatikan:
- Mengusahakan Berita Sebagai Pengetahuan Umum
Seperti
kita ketahui seseorang membaca surat kabar pada didasari keinginan
untuk mengetahui perkembangan masyarakat dan lingkungan dimana dia
hidup. Keperluan ini merupakan satu keharusan agar dapat bertahan hidup.
Membaca surat kabar maka orang juga akan mengetahui perkembangan
kejadian sehingga seseorang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. bagi masyarakat yang semakin luas dan kompleks
perkembangannya, pers menjadi sarana disamping berbagai media massa
lainnya.
Dengan
posisinya yang strategis maka pemberitaan yang dimuat dimuat di media
massa, khususnya pers maka informasi yang disajikan hendaknya bisa
berfungsi sebagai sarana pengetahuan umum. Artinya, informasi yang
dimuat di media massa bisa dimanfaatkan khalayak untukberinteraksi
sosial.
Wartawan
dalam hal ii dalam menyajikan informasi hendaknya juga memberikan
konteks tertentu dari apa yang akan dituliskan. Pemberian konteks ini
dengan cara mengkaitkan satu fakta dengan fakta lainnya. Wartawan
melalui pemberitaannya tidak mendikte khalayak namun memberikan satu
gambaran sehingga khalayak dapat dengan mudah menentukan pilihannya.
- Mengusahakan Berita Sebagai Kontrol Sosial
Pada
dasarnya pers dapat dipandang sebagai sumber kekuatan perubahan yang
dapat mempengaruhi kehidupan politik. Institusi pers diwarnai oleh
sistem politik di mana pers itu lahir dan berkembang. Siebert
mengemukakan bahwa pers selalu mengambil bentuk dan warna sosial politik
di dalam mana ia beroprasi. Eksistensi dan kehidupan pers di suatu
negara merupakan pencerminan sistem politik suatu negara. Pemerintah
suatu negara senantiasa berusaha mengatur hubungannya dengan pers
melalui peraturan atau perundang-undangan sehingga melalui regulasi
tentang pers akan dapat difahami secara normatif sistem pers suatu
negara yang berkaitan dengan sistem politik.
Kontrol
sosial pers merupakan posisi yang startegis. Dalam menjalankan fungsi
kontrol ini tidak mudah karena sangat bergantung pada political will
pemerintah. Tatkala pers menjalankan fungsi kontrolnya biasanya juga
akan menemui berbagai macam kendala karena ketika pers menjalani
fungsinya tersebut pers sering berbenturan dengan pihak yang dikontrol.
Untuk
bisa menjalankan fungsinya tersebut maka wartawan dalam menjalankan
tugas jurnalistiknya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, termasuk manaati kode etik jurnalistik.
Realita
menunjukan ketidaktaatan wartawan dalam melaksanakan kode etik,
praktek-paktek yang bertentangan dengan kode etik yang dikhawatirkan
oleh banyak pihak. Akhir-akhir ini, dua tahun setelah reformasi
bergulir, pers dinilai hanyut terbawa isu-isu yang dianggap tidak
substansial bagi perikehidupan rakyat banyak atau terlalu mengutamakan
kepentingan orang perorang atau kelompok. Pers terbawa dalam konflik
satu ke konflik yang lain entah itu menyangkut politik, sosial maupun
hukum sehingga pers hanya sekedar memenuhi apa yang ingin diketahui
masyarakat, bukan menyajikan apa yang harus diketahui masyarakat.
Padahal pers harus agenda setting,
yang artinya apa yang dianggap penting hendaknya juga dianggap penting
oleh masyarakat pembacanya. Pers tidak sekedar terbawa peristiwa dan
masalah tetapi semacam membuat, atau menentukan ketidakmampuan pers
nasional membuat agenda dan mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat,
termasuk pemerintah. Pers dinilai belum mampu mengisi kebebasan yang
telah diperolehnya sesuai yang diharapkan masyarakat. Akibatnya sejumlah
masyarakat bersikap tidak bersahabat dengan pers, memusuhi pers dan
termanifestasikan dalam tindakan anarkis yang merugikan wartawan,
khususnya pers pada umumnya.
Dalam
konteks inilah maka hendaknya pers tetap berpihak kepada kepentingan
umum, bukan mengedepankan ego atau kepentingan kelompok maupun medianya.
Pers harus sedapat mungkin bersifat independen, artinya tidak harus
netral. Bagaimanapun juga pers harus tetap berpihak dan keberpihakan
pers pada kepentingan masyarakat umum dan khalayak pembaca, khususnya.
hal itu hanya bisa terwujud kalau pers dalam pemberitaannya bersifat
mendalam, informatif, mendidik, mencerdaskan dan mencerahkan pikiran.
Bahkan
kalau mungkin bisa memberikan alternatif persoalan yang ada di
masyarakat. idealisme diatas dapat terwujud dengan adanya peningkatan
dan penguatan terus-menerus dari wartawan terhadapa persoalan yang
dihadapi bangsa dan negara, wartawan bisa berfikir secara mendalam tidak
hanya sekedar melempar isu untuk tujuan tertentu diluar kepentingan
umum. Memahami dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, mengupayakan
akurasi dan fairnness, memperkecil bias merupakan serangkaian prasyarat
agar kebebasan pers bisa berjalan seperti yang diharapkan. Melalui
upaya tersebut pers akan mempunyai kekuatan untuk bisa sekuat tenaga
menjunjung tinggi idealisme dalam pertarungan melawan kepentingan
pengusaha atau perusahaan pers, serta tekanan masyarakat.
Batas Pemberitaan
Batas pemberitaan pada dasarnya satu ketentuan yang harus diperhatikan oleh pers dalam menjalankan peran dan fungsinya. Di Indonesia, ketentuan yang harus diperhatikan adalah menyangkut UU pokok pers, serta kode etik jurnalistik.
Regulasi yang mengatur tentang pers di Indonesia sudah mengalami berbagai perubahan. Regulasi pers pertama UU No.11 tahun 1966 tentang ketentuan pokok pers. Undang-undang ini merupakan produk perundang-undangan pertama pada masa pemerintahan Orde Baru yang dilandasi oleh satu tekad untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Kehadiran undang-undang ini cukup melegakan karena telah memberikan kepastian akan kedudukan pers Nasional menjadi jelas. Dalam undang-undang juga dicantumkan ketentuan-ketentuan yang memberikan keleluasaan pers untuk mejalankan peran dan fungsinya.
Dalam UU No.11 tahun 1966 tentang pers ini juga ada pasal yang ditenggarai bisa menghambat pelaksanaan kebebasan pers dalam menjalankan peran dan fungsinya yaitu dalam pasal 20 ayat (1) tentang ketentuan SIT (Surat Ijin Terbit) bagi penerbitan baru. Pemerintah juga mengeluarkan regulasi tentang SIT yaitu Permenpen RI No.03/Per/Menpen/1969 tentang Lembaga Surat Ijin Terbit Dalam Masa Peralihan Bagi Penerbitan Pers yang bersifat umum. Dalam peraturan ini terdapat ketentuan bahwa surat kabar akan dicabut SIT-nya apabila melanggar ketentuan yang ditetapkan didalamnya. Kedua ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 4 UU No.11 tahun 1966.
Tahun 1967, pemerintah melakukan perubahan atas UU No.11 tahun 1967. Perubahan undang-undang menyangkut pada undang-undang No.4 Tahun 1967 tentang penambahan UU No.11 Tahun 1966 tentang pokok pers hanya menambahkan sisipan pada pasal 21 bab X UU No.11 Tahun 1966 berupa ayat (2) dimana tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan dalam Penetapan Presiden No.4 tahun 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat menggau ketertiban umum, khususnya mengenai buletin, surat kabar harian, majalah dan penerbitan berkala (ML gandhi SH: 1985 p.45).
Tahun 1982, Pemerintah kembali melakukan perubahan regulasi dalam bidang pers yaitu dikeluarkannya UU No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers. Dalam ketentuan baru ini lembaga SIT dicabut, dengan gantinya Pemerintah mengenalkan lembaga perijinan baru yaitu SIUPP (Surat ijin Usaha Penerbitan Pers) sebagai prasyarat bagi pendirian penerbitan media cetak.
Sementara itu, kode etik juga menjadi salah satu batas pemberitaan. Kode etik bertujuan untuk menegakkan martabat profesi. Kode etik dibutuhkan oleh pekerja media, karena profesi ini membutuhkan standar pemahaman keahlian dan keterampilan yangtinggi. Kode etik merupakan kesepakatan lingkungan internal profesi sehingga tidak ada pihak ketiga yang dapat memakai kode standar kode etik diluar lingkungan oraganisasinya.
Kode etik tidak memiliki sanksi hukum, tetapi bersifat moral dan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga. Pengawasan dan pelaksanaan kode etik ini oleh Dewan Kehormatan.
Di Indonesia kode etik wartwan yang dikenal adalah Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sementara yang masuk dalam PWI ada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI. (Erwin)
Sumber: - Mata kuliah Penulisan Berita, oleh Susilastuti DRA, MSI